Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya ikut turun tangan mengusut kasus dugaan korupsi yang menjerat Djoko Tjandra dan Jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Komisi antirasuah itu menerbitkan surat perintah supervisi untuk menangani kasus yang kini ditangani oleh Kejaksaan Agung dan Kepolisian itu.
Menurut Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, pimpinan KPK telah memerintahkan Deputi Penindakan Karyoto untuk menerbitkan surat perintah supervisi tersebut.
Lembaga antirasuah itu juga akan mengundang dua institusi penegak hukum tersebut untuk melakukan gelar perkara dalam waktu dekat.
"KPK akan mengundang kedua aparat penegak hukum untuk melakukan gelar perkara dalam waktu dekat," kata Alexander Marwata, Jumat (4/9/2020).
Namun ia tidak menyebutkan kapan gelar perkara bersama itu akan dilakukan.
Alex pun mengajak masyarakat untuk bersama-sama mengawasi perkara tersebut. Pasalnya, menurut Alexander, perkara ini diduga melibatkan aparat penegak hukum.
Djoko Tjandra menjadi tersangka di tiga kasus, dua di antaranya sangkaan korupsi. Joker--begitu ia biasa disapa--menjadi tersangka kasus dugaan suap dalam penghapusan red notice.
Selain itu, pemilik grup Mulia itu (termasuk hotel Mulia di Senayan, gedung-gedung Mulia, dan pabrik keramik Mulia) juga menjadi tersangka kasus dugaan suap pengurusan fatwa bebas ke Mahkamah Agung.
Dua kasus yang menjerat Djoko Tjandra itu menjadi sorotan karena ikut menyeret sejumlah aparat hukum.
Di lingkungan Polri, Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo dan Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte ikut terseret menjadi tersangka suap. Kedua jenderal polisi itu disangka menerima suap terkait surat jalan dan penghapusan red notice Djoko Tjandra.
Penetapan tersangka terhadap dua jenderal itu bermula dari polemik masuknya Djoko ke Indonesia.
Sebelas tahun menyandang status buron, terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali itu ketahuan mendaftarkan Peninjauan Kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Juni 2020.
Selain dua jenderal di lingkungan Polri, di Kejaksaan Agung Jaksa Pinangki Sirna Malasari juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan gratifikasi kepengurusan fatwa bebas dari Mahkamah Agung.
Pinangki diduga telah menerima suap sebesar USD 500 ribu atau sekitar Rp 7,4 miliar setelah berhasil membuat Djoko Tjandra menerima proposalnya yang berisi penawaran penyelesaian kasus.
Sementara Andi Irfan diduga menjadi perantara pemberian uang.
Karena kasus ini menyeret sejumlah aparat hukum, transparansi dalam pengusutan kasus ini menjadi sorotan.
KPK pun didesak sejumlah pihak untuk mengambil alih lantaran transparansi dan objektivitas Polri dan Kejaksaan Agung diragukan karena kasus ini melibatkan anggota mereka.
Alexander Marwata menyebut bahwa hal itu akan dipertimbangkan dalam gelar perkara bersama nanti. Bila memenuhi syarat, pengambilalihan kasus akan dilakukan.
"KPK akan melihat perkembangan penanganan perkara tersebut untuk kemudian mengambil sikap pengambilalihan apabila memenuhi syarat-syarat alasan sebagaimana diatur dalam pasal 10 A UU Nomor 19 Tahun 2019," ujar Alex.
Sesuai kewenangan dalam UU KPK, Alexander menyatakan pengambilalihan kasus harus memenuhi sejumlah syarat. Syarat tersebut antara lain adanya pihak-pihak tertentu yang ingin dilindungi dalam penanganan perkara.
Alexander mengatakan KPK akan mendalami dugaan adanya pihak-pihak tertentu yang dilindungi dalam penanganan perkara tersebut. KPK juga akan mendalami dugaan adanya intervensi pihak tertentu.
"Nanti kita akan lihat sejauh mana penanganannya dan apakah ada pihak-pihak yang ingin dilindungi dalam perkara tersebut," ucap Alexander.
Terpisah, Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) Barita Simanjuntak mengaku heran jaksa Pinangki Sirna Malasari yang hanya berstatus pejabat eselon IV di Kejaksaan Agung RI bisa leluasa bertemu Djoko Tjandra hingga menawarkan kepengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA).
Barita mengungkapkan keheranan itu juga kerap disuarakan oleh masyarakat Indonesia. Sebab, jabatan jaksa Pinangki dinilai tidak memiliki wewenang lebih mengurus perkara tersebut.
"Dia bukan penyidik, dia bukan jaksa eksekutor, dia juga bukan orang yang punya kewenangan dalam eksekusi. Dia bukan siapa-siapa dalam tugasnya dan kewenangannya yang strukturnya eselon 4. Tapi bisa bertemu dengan terpidana buron yang ketika itu hebat pengusaha besar itu kan," kata Barita saat berbincang di kantor Tribunnews, Jakarta, Jumat (4/9/2020).
Menurut Barita, hal tersebut justru menimbulkan kecurigaan di masyarakat terkait ada pihak lain di institusi korps Adhyaksa yang ikut bermain di dalam kasus tersebut.
Hal ini, kata dia, harus juga diselidiki oleh penyidik kejaksaan.
"Hal itu membuat dugaan publik ada pihak lain. Sebab bertemu terpidana buron ketika itu Djoko Tjandra saja tidak mudah. Nah kenapa ini bisa? inilah yang melahirkan keragu-raguan publik apabila proses penyidikan tidak dilakukan secara independen dan transparan sehingga menduga-duga," jelasnya.
Sebagai pengawas kinerja Kejaksaan, Barita mengungkapkan Komjak harus menyampaikan aspirasi publik agar hal tersebut bisa dijawab oleh penyidik.
Dia mengharapkan penyidik dari Kejaksaan Agung dapat menerima masukannya tersebut.
"Tugas komisi Kejaksaan bagaimana penegakan hukum yang dilakukan Kejaksaan dapat dipercaya oleh masyarakat tentu dengan cara menyampaikan masukan dan kritik. Karena masyarakat ini punya kepedulian yang tinggi terhadap kejaksaan," jelasnya.
"Dorongan publik terhadap Kejaksaan itu untuk melakukan penegakan hukum seperti sekarang itu kan sangat tinggi sebenarnya. Bisa dibaca sebagai bentuk kepedulian cuma kepedulian yang tinggi itu kalau dibarengi dengan ketidakpercayaan itulah yang sinis. Tetapi kalau kepedulian yang tinggi secara positif itulah yang produktif bagi penegakan hukum," ujarnya. (tribun network/ham/igm/dod)
Subscribe by Email
Follow Updates Articles from This Blog via Email
No Comments