Mantan Menteri Sosial Idrus Marham akhirnya menghirup udara bebas setelah beberapa tahun menjalani hukuman 2 tahun penjara atas kasus kasus suap PLTU Riau-1.
Mantan Sekjen Partai Golkar tersebut bebas murni dari Lembaga Pemasyakatan (Lapas) Klas I Cipinang, Jumat (11/9/2020) pagi.
"Telah dibebaskan pagi ini, 11 September 2020 dari Lapas Kelas I Cipinang, bebas murni," kata Kabag Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyakatan Rika Aprianti dalam keterangannya, Jumat (11/9/2020) malam.
Berdasarkan putusan kasasi pada tingkat Mahkamah Agung (MA), Idrus dikurangi hukumannya menjadi 2 tahun penjara.
Padahal pada tingkat banding, Idrus dijatuhkan hukuman 5 tahun penjara.
Alasan meringankan hukuman Idrus, karena dinilai bukan penentu dalam proyek yang dilobi-lobi oleh bos Blackgold Natural Resource Ltd Johanes Budisutrisno Kotjo dan mantan Anggota DPR RI Eni Maulani Saragih.
Berdasarkan putusan kasasi, kata Rika, Idrus juga sudah membayarkan denda senilai Rp50 juta. Denda itu dibayarkan pada 3 September 2020.
"Lama pidana 2 tahun berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI pada tingkat Kasasi, tanggal 2 Desember 2019, no. 3681 K/PID. SUS/2019 denda Rp50 juta, sudah dibayarkan pada tanggal 3 September 2020," katanya.
Idrus Marham merupkan pria kelahiran Pinrang, Sulawesi Selatan, 14 Agustus 1962.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Litbang Kompas, perjalanan karier Idrus sebagai politisi dimulai tahun 1997 sebagai anggota MPR dari utusan golongan.
Dia baru menjadi anggota DPR dari Partai Golkar sejak tahun 1999.
Ia kemudian mengundurkan diri sebagai anggota DPR periode 2009-2014 pada 8 Juni 2011 dan menjadi Sekjen Partai Golkar hingga akhirnya diangkat menjadi Menteri Sosial pada 17 Januari 2018.
Jumat (23/8/2018), Idrus Marham menyatakan mundur dari kursi Kabinet Kerja Jokowi-Jusuf Kalla (JK).
Idrus Marham mudur dari jabatan menteri karena sudah menerima surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) KPK pada Kamis (23/8/2018).
Selain mundur dari jabatan menteri, ia pun mundur dari kepengurusan Partai Golkar.
Diketahui kasus suap proyek pembangunan PLTU Riau-1 berawal dari Johanes Kotjo sebagai pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd (BNR) ingin mendapatkan proyek di PLN tetapi kesulitan berkomunikasi dengan pihak PLN.
Hingga akhirnya Kotjo meminta bantuan Setya Novanto yang saat itu menjabat Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Ketua DPR.
Novanto disebut telah lama mengenal Kotjo.
Dari Novanto, Kotjo dikenalkan dengan Eni Saragih yang bertugas di Komisi VII DPR.
Melalui Eni, Kotjo dapat berkomunikasi langsung dengan Direktur Utama PT PLN saat itu, Sofyan Basir.
Akhirnya kasus tersebut terendus KPK dan menangkap anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Eni Maulani Saragih pada 7 Juli 2018.
Saat itu, Eni Maulani Saragih ditangkap di rumah dinas Idrus Marham yang beralamat di Kompleks Widya Chandra, Jakarta.
Pada saat penangkapan Eni, Idrus sedang menggelar acara ulang tahun pertama anaknya.
Sekitar pukul 15.00 WIB atau satu jam setelah Eni hadir, sejumlah petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendatangi rumah Idrus.
Petugas KPK bukan sedang mencari Idrus sang tuan rumah, tetapi untuk menjemput Eni Maulani.
Petugas sempat menunjukkan surat perintah penyelidikan saat itu.
Dari penangkapan Eni Maulani Saragih, KPK pun mengusut lebih dalam kasus suap tersebut hingga akhirnya memeriksa Idrus Marham beberapa kali dan akhirnya ia ditetapkan sebagai tersangka, Kamis (24/8/2018).
Setelah menjalani pemeriksaan sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek pembangunan PLTU Riau-1, Jumat (31/8/2018), KPK pun menahan Idrus Marham.
Dalam proses hukumnya, Idrus Marham divonis Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta dengan hukumna pidana 3 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider 2 bulan kurungan.
Mantan Sekretaris jenderal Partai Golkar itu dinyatakan terbukti bersalah menerima suap terkait proyek PLTU Riau-1 sebesar Rp 2,25 Miliar dari pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Idrus Marham telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama," kata hakim ketua Yanto, saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (23/4/2019) saat itu.
Idrus Marham pun akhirnya mengajukan upaya perlawanan hukum dengan mengajukan banding.
Dalam putusan banding, hukuman Idrus Marham diperberat menjadi 5 tahun penjara.
Ia juga diwajibkan membayar denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan.
"Membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 9/Pid.Sus-TPK/2019/PN.JKT.PST. tanggal 23 April 2019 yang dimintakan banding tersebut. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Idrus Marham dengan pidana penjara selama 5 tahun," demikian bunyi amar putusan banding dilansir dari situs resmi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (18/7/2019). Putusan itu dibacakan pada Selasa (9/7/2019) silam.
Adapun majelis hakim terdiri dari I Nyoman Sutama selaku ketua majelis dan anggota majelis yang terdiri dari Mohammad Zubaidi Rahmat dan Achmad Yusak.
Atas putusan tersebut, Idrus Marham kembali melakukan upaya hukum dengan mengajukan kasasi.
Pada tingkat kasasi, Majelis hakim Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi Idrus Marham.
"Dalam putusan tersebut Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi Terdakwa dan membatalkan putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta," kata Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro dalam keterangan tertulis, Selasa (3/12/2019) saat itu.
"Kemudian MA menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun denda Rp 50 juta subsider 3 bulan kurungan," ujar dia. (Tribunnews.com/ kompas.com/ srihandriatmo malau)
Subscribe by Email
Follow Updates Articles from This Blog via Email
No Comments