Akun media sosial Instagram milik Yosi Mokalu atau Yosi Project Pop 'diserbu' warganet usai artis itu disebut oleh Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Henry Subiakto sebagai "ketua influencer".
Sebagaimana diketahui, isu mengenai influencer dan buzzer akhir-akhir ini sedang marak setelah Indonesian Corruption Watch (IWC) membongkar penggunaan dana pemerintah lebih dari Rp90 miliar untuk program influencer.
Isu itu menjadi bahan perbincangan lantaran sejak beberapa tahun belakang masyarakat dan sejumlah tokoh oposisi mengeluhkan keberadaan para buzzer bayaran yang dianggap hanya memecah belah dan mengkerdilkan makna demokrasi yang sudah berjalan selama ini.
Sayangnya, sebagian warganet belum bisa membedakan peran antara buzzer politik dan influencer yang dibayar untuk menyuarakan program-program pemerintah.
Akibatnya, tidak sedikit yang mengumpat Yosi dan menudingnya sebagai "pemecahbelah bangsa". Yosi dianggap sebagai buzzer.
Sebelumnya, nama Yossi disebut oleh Henry Subiakto saat ia terlibat perdebatan dengan Rocky Gerung di program Dua Sisi TV One. Mereka, kala itu, berdebat tentang penggunaan influencer oleh pemerintah.
Henry mengakui dirinya pernah menggunakan jasa influencer, tetapi tidak dibayar.
"Terus terang saya pakai influencer di sini, tapi saya enggak bayar.
"Saya pakai Ustaz Abdul Somad, saya pakai Ustaz Haikal untuk menyuarakan kepentingan waktu itu adalah supaya Idul Fitri tidak perlu mudik," paparnya.
Selain itu, ada pula sosok tokoh besar yang disebut mengajak selebriti-selebriti untuk membantu kampanye pemerintah, salah satunya adalah Yosi yang disebut memberikan pelatihan kepada para influencer.
Meskipun begitu, ada temuan ICW bahwa Kemenkominfo menyediakan anggaran Rp10,83 miliar untuk influencer.
Di tengah ramainya pembicaraan tentang Yosi, termasuk serangan warganet ke akun media sosialnya, Henry Subiakto memberikan klarifikasi di Twitter pribadinya.
Henry sebelumnya menerangkan bahwa peran influencer adn buzzer politik jauh sekali perbedaannya.
"Jangan dipikir influencer itu selalu untuk politik (ini pikiran yg terkontaminasi) tapi untuk menggerakkan ekonomi rakyat terutama mahasiswa dan anak muda di era digital."
"Pelatihnya orang-orang hebat yang tidak dibayar, tapi relawan. Maka memahami fakta jangan dicampur dengan suudzon,"tulisnya dikutip Wartakotalive.com pada Minggu (30/8/2020).
"Jadi semua pemilik akun medsos itu bisa jd influencer, asal dia mengembangkan kreativitas diri. Dari drpd ribut politik. Mereka bisa jadi travel influencer, cullinary influencer, marketing influencer dll, ini adalah pekerjaan baru yang bermanfaat bagi masyarakat dan besar pendapatannya," imbuhnya.
Selanjutnya, tentang buzzer politik, dikatakannya, tidak perlu butuh kemampuan akademisi, lantaran misinya hanya untuk 'membuat gaduh'.
Buzzer itu tidak perlu kreatif dan produktif, tidak penting identitasnya, apalagi reputasi akademik, sama sekali tidak dibutuhkan."
"Makanya kerjaan buzzer itu hanya nyalah-nyalahin, nuduh, ngumpat atau dukung tanpa mikir. Tidak ada buzzer akademik, itu konsep yang bertentangan," jelasnya.
"Makanya kalau di medsos gak usah terlalu baper ketika diserang cyber army atau buzzer, kerjaan mereka memang menyerang dan meramaikan dukungan, atau menggaungkan suara pihaknya. Sedangkan akademisi punya kebenaran sendiri yang diuji secara metodologik," imbuhnya.
Terkait Yossi, Henry Subiakto menegaskan bahwa musisi itu adalah influencer, bukan buzzer.
Yosi, dikatakannya, justru melatih banyak orang untuk menjadi influencer yang mempromosikan hal-hal positif.
"Cyber Kreasi yang diketuai Yosi adalah kumpulan organisasi relawan yang membantu pemerintah untuk mendidik rakyat dengan program literasi digital. Banyak tokoh-tokoh yang ikut jadi relawan di situ," jelasnya.
"Yossi adalah ketua relawan cyber kreasi yang melatih digital literacy masyarakat dan mahasiswa agar mereka bisa jd influencer untuk pariwisata daerah, influencer tempat-tempat kuliner hingga pemasaran dagang, ini untuk ekonomi rakyat. Jadi tidak ada influencer untuk politik di situ."
Perdebatan antara Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Henry Subiakto dengan Rocky Gerung di salah satu stasiun televisi ternyata berbuntut panjang.
Keduanya menjadi bahan perbincangan hangat di sosial media. Para pendukung Henry, mencibir Rocky, begitu juga sebaliknya.
Dilansir dari TribunWow.com, hal itu tampak dalam tayangan Dua Sisi di TVOne, Kamis (27/8/2020).
Awalnya Rocky Gerung tengah membahas temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait dana pembiayaan influencer senilai Rp 90,45 miliar.
Ia menilai penggunaan jasa influencer itu adalah untuk menutupi ketidakmampuan pemerintah dalam menyosialisasikan programnya.
Henry Subiakto lantas membantah tuduhan Rocky Gerung tersebut.
"Saya yang tahu persis persoalan dana itu karena saya di Kementerian. Tidak ada yang namanya influencer di Kementerian saya," sanggah Henry Subiakto.
Ia menegaskan pihaknya tidak pernah membayar tokoh-tokoh influencer untuk melakukan komunikasi publik.
Henry mengakui dirinya pernah menggunakan jasa influencer, tetapi tidak dibayar.
"Terus terang saya pakai influencer di sini, tapi saya enggak bayar.
• ILC TV One, Rocky Gerung Sebut yang Terbakar Pasar Gelap Keadilan, Bukan Gedung Kejaksaan Agung
"Saya pakai Ustaz Abdul Somad, saya pakai Ustaz Haikal untuk menyuarakan kepentingan waktu itu adalah supaya Idul Fitri tidak perlu mudik," paparnya.
Selain itu, ada pula sosok tokoh besar yang disebut mengajak selebriti-selebriti untuk membantu kampanye pemerintah.
Meskipun begitu, ada temuan ICW bahwa Kemenkominfo menyediakan anggaran Rp10,83 miliar untuk influencer.
Henry kembali menjawab maksudnya adalah menjelaskan fakta tersebut dan membantah tuduhan Rocky Gerung.
Ia menilai tuduhan akademisi itu tidak berdasarkan fakta.
"Supaya orang seperti Rocky ini tahu fakta. Dia hanya bicara secara imajinasi dan teori-teori yang kadang-kadang di kampus saya sudah ketinggalan zaman," ungkap Henry.
"Saya Guru Besar Universitas Airlangga," tambahnya. Ucapan profesor itu justru mendapat sindiran dari Rocky Gerung.
"Mudah-mudahan otakmu besar juga," sindir Rocky Gerung. "Minimal saya profesor beneran, kalau Anda 'kan belum tentu," balas Henry.
Ia kembali menjelaskan, dana itu digunakan untuk pemberdayaan tokoh-tokoh tertentu menjadi influencer bagi masyarakat.
"Jadi ada program melatih masyarakat, karena kita tahu masyarakat sudah menggunakan media sosial."
• Nora Alexandra Merasa Terhina Dituding Halangi Jerinx SID Bertemu Keluarga Semenjak Mereka Menikah
Ali Ngabalin Sebut Tuduhan Rocky Gerung 'Sesat'
Di sisi lain, dalam tayangan yang sama, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin mempertanyakan tuduhan yang dilontarkan akademisi Rocky Gerung.
Rocky Gerung tengah menyoroti temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait dana pembiayaan influencer senilai Rp90,45 miliar.
Ia menilai penggunaan jasa influencer itu adalah untuk menutupi ketidakmampuan pemerintah dalam mensosialisasikan programnya.
"Hari-hari ini memang ada ketidakpercayaan pada semua informasi pemerintah itu. Saya enggak berharap informasinya palsu, tapi faktanya orang tidak percaya," papar Rocky Gerung.
Ia menyinggung ada survei dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang menyebutkan 29 persen masyarakat masih percaya pemerintah dapat mengatasi krisis ekonomi.
"SMRC mengeluarkan survei itu setelah dana publikasi ini keluar 'kan. Itu semacam orang mau jualan sapi, sapinya kurus, supaya kelihatan beratnya, itu digelontorin air ke dalam perutnya," sindir Rocky.
Pernyataan itu segera dibantah Ali Ngabalin. Ia menilai tuduhan Rocky tidak berdasar penelitian atau fakta di lapangan.
"Kerangka berpikir yang dipakai Rocky itu tidak sejalan dengan fakta. Kalau Rocky mengatakan fakta, maka dia harus bisa menunjukkan sebuah terminologi penelitian seperti yang dilakukan ICW," bantah Ali Ngabalin.
Ngabalin menyinggung tuduhan Rocky sebelumnya yang menyebut ada ketidakberesan dan ketidakberhasilan program pemerintah, sehingga perlu menggunakan jasa influencer.
"Atau tadi Anda memakai 'ketidakpercayaan publik'. Yang saya bilang tidak sejalan dengan terminologi itu adalah terkait dengan program pemerintah diluncurkan kepada masyarakat, tidak semua masyarakat itu pintar seperti Rocky," jelasnya.
Ia memaparkan program-program pemerintah itu perlu dijelaskan oleh sejumlah tokoh yang dikenal, seperti pemuka masyarakat, termasuk influencer.
Namun Ngabalin menyoroti tuduhan Rocky terkait adanya ketidakpercayaan pemerintah. Menurut dia, tuduhan ini tidak berdasar dan tidak ada hubungannya.
"Kalau Rocky mengatakan fakta dan publik tidak percaya atas ketidakberesannya, apa yang dipakai? Karena ini publik lagi nonton," tegas Ngabalin.
Ngabalin menuntut Rocky menjelaskan asal tuduhannya, terutama terkait ketidakpercayaan terhadap pemerintah.
Ia menilai hal ini perlu diluruskan agar informasi yang sampai ke masyarakat tidak simpang-siur, bahkan menimbulkan fitnah.
"Kalau dia menggunakan kata publik, referensi apa yang dipakai? Jangan hanya ngerecok ke sana kemari. Itu akan bisa menyebarkan fitnah dan tidak mendidik publik, 'kan Rocky suka begitu kalimatnya," katanya.
"Kalau tidak dibantah, pernyataan-pernyataan yang menyesatkan ini bisa merusak publik," tandas Ngabalin.
Artikel ini tayang di Wartakotalive dengan judul Disebut Ketua Influencer, Yosi Project Pop Dicaci Warganet, Henry Subiakto: Bukan Influencer Politik
Editor: Feryanto Hadi
Subscribe by Email
Follow Updates Articles from This Blog via Email
No Comments