Pilkada Serentak 2020 akan digelar pada 9 Desember mendatang.
Sejalan dengan itu, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus berharap para calon kepala daerah yang maju bukanlah mereka yang memiliki riwayat masalah seperti penyalahgunaan narkoba.
Lucius menilai tidak etis apabila seseorang yang pernah terlibat dalam kasus penyalahgunaan narkoba atau kejahatan lain masih mencalonkan diri.
"Harapan kita agar para calon yang maju di Pilkada bukan mereka yang secara etis bermasalah dengan penyalahgunaan narkoba atau kejahatan lain. Orang yang sejak awal bermasalah dalam proses pencalonan tak akan memberikan optimisme pada hasil pilkada melalui keterpilihan pemimpin yang berkualitas," ujar Lucius, saat dikonfirmasi Tribunnews.com, Senin (3/8/2020).
Larangan pecandu narkoba maju dalam kontestasi politik pun sudah diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Desember 2019 tentang syarat pencalonan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang dimuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016.
Menurutnya putusan MK itu seperti memberikan angin segar dalam mendorong munculnya calon kepala daerah yang memiliki kualitas dan integritas.
Dia juga mengatakan seharusnya larangan pecandu narkoba maju di Pilkada dijadikan isu yang krusial dan didukung oleh semua pihak, bukan sebaliknya.
"Hal yang sama juga terjadi pada UU Pilkada yang masih saja merasa pembatasan bagi mereka yang secara etis bermasalah merupakan sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Ini seolah mengindikasikan bahwa secara sistemik kita tak punya sensitifitas untuk mendorong lahirnya pemimpin daerah berkualitas melalui Pilkada," kata dia.
Apabila nantinya ada partai politik yang masih mengusung calon kepala daerah dengan riwayat penyalahgunaan narkoba, maka bisa dikatakan kaderisasi partai politik tersebut tidak berjalan.
"Ini sekaligus membuktikan kaderisasi parpol tak berjalan maksimal, bahkan sekedar formalitas saja. Mereka yang dikaderisasi parpol juga tak serta merta mendapatkan jaminan untuk dicalonkan sebagai cakada," jelasnya.
Lucius menilai masyarakat saat ini justru tengah menunggu figur calon kepala daerah yang diharapkan dapat membawa perubahan. Dan sosok pemimpin itu diharapkan adalah orang yang secara personal sudah selesai dengan masalahnya sendiri.
"Jika kepala daerah masih harus berurusan dengan persoalan seperti kecanduan narkoba, bagaimana ia bisa diharapkan bisa memimpin daerahnya untuk membawa perubahan?," tandasnya.
Untuk diketahui, pada Desember 2019 lalu MK memutuskan tentang syarat pencalonan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang dimuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016. Putusan MK tersebut melarang pecandu narkoba maju di Pilkada.
Putusan Mahkamah ini berawal ketika mantan Bupati Ogan Ilir, Ahmad Wazir Noviadi, mengajukan permohonan uji materi aturan tentang syarat pencalonan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 Pasal 7 ayat (2) huruf i Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
Pasal tersebut adalah larangan bagi seseorang dengan catatan tercela mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Dan pemakai dan bandar narkoba dianggap perbuatan tercela.
MK menyebut pemakai narkoba dilarang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah, kecuali dengan alasan kesehatan si pemakai yang dibuktikan dengan keterangan dari dokter. Selain pengguna dan bandar narkoba, perbuatan tercela dalam putusan Mahkamah tersebut juga termasuk judi, mabok dan berzina.
Subscribe by Email
Follow Updates Articles from This Blog via Email
No Comments