Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, meminta putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait dikabulkan gugatan mantan Komisioner KPU RI, Evi Novida Ginting Manik ditindaklanjuti.
Evi Novida Ginting memenangkan gugatan pemberhentian dengan tidak hormat anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan 2017-2022 di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, pada Kamis (23/7/2020).
Menurut Dewa, kehadiran seorang komisioner diperlukan di tengah kesibukan pihaknya mempersiapkan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) di tengah pandemi corona virus disease 2019 (covid-19).
Dia meyakini kehadiran komisioner akan membuat kerja lembaga penyelenggara pemilu itu lebih optimal.
"Tentu akan lebih optimal kalau lengkap," kata Dewa, saat dikonfirmasi, Jumat (24/7/2020).
Pada saat ini, pihaknya sedang fokus mensukseskan penyelenggaraan pilkada 2020.
"Pilkada sedang berjalan, daerah yang menyelenggarakan pilkada 270 daerah di tengah situasi pandemi," tambahnya.
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Muhammad menyerahkan hasil putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait dikabulkan gugatan mantan Komisioner KPU RI, Evi Novida Ginting Manik kepada Presiden Joko Widodo.
"Kami melihat bagaimana presiden menyikapi," ujar Muhammad.
Dia menilai amar putusan PTUN mengoreksi keputusan presiden. Menurut dia, di perspektif Hukum Tata Negara (HTN), Pemerintah bersama DPR berwenang membentuk Undang-Undang.
Sementara itu, DKPP berdiri atas kerjasama pemerintah dan DPR RI. Mengacu Undang-Undang Pemilu, kata dia, DKPP berwenang memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran etika penyelenggara pemilu.
"Presiden sebagai representasi pemerintah yang ikut merumuskan noma undang-undang tentang kelembagaan DKPP," tambahnya.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terhadap gugatan Evi Novida Ginting sudah tepat.
Feri mengatakan putusan PTUN dinilai tepat karena prosedur pemberhentian Evi sendiri tidaklah tepat.
"Memperhatikan itu, putusan PTUN sudah tepat dalam upaya membenahi kealpaan prosedur. Karena PTUN merupakan lembaga yang mengoreksi prosedur tindakan dan/atau keputusan administrasi negara," ujar Feri.
Menurutnya prosedur pemberhentian Evi sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak tepat lantaran tidak terpenuhinya kuorum sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) saat pemecatannya.
"Jika disimak prosedur pemberhentian Evi memang tidak benar. Misalnya tidak terpenuhinya kuorum sidang DKPP terkait pemecatannya, keputusan ini hanya mengarah kepada Evi," kata dia.
"Padahal setiap tindakan KPU kolektif kolegial. Sehingga tidak bisa beban ditimpakan hanya kepada Evi semata. Jadi putusan PTUN sudah tepat," tambah Feri.
Seperti dilansir laman sipp.ptun-jakarta, putusan Nomor: 82/G/2020/PTUN.JKT itu berbunyi:
Mengadili:
Dalam Penundaan:
1. Mengabulkan Permohonan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 34/P.Tahun 2020 tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan 2017-2022 tanggal 23 Maret 2020;
2. Memerintahkan atau Mewajibkan Tergugat untuk menunda pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 34/P.Tahun 2020 tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan 2017-2022 tanggal 23 Maret 2020 selama proses pemeriksaan sampai dengan adanya Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;
Eksepsi:
Menyatakan eksepsi Tergugat tidak diterima;
Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan batal Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34/P.Tahun 2020 tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan Tahun 2017-2022 tanggal 23 Maret 2020;
3. Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34/P.Tahun 2020 tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan Tahun 2017-2022 tanggal 23 Maret 2020;
4. Mewajibkan Tergugat untuk merehabilitasi nama baik dan memulihkan kedudukan Penggugat sebagai Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan 2017 – 2022 seperti semula sebelum diberhentikan;
5. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp. 332.000,00. (tiga ratus tiga puluh dua ribu rupiah).
Untuk diketahui, DKPP mengusulkan pemberhentian dengan tidak hormat Evi Novida Ginting Manik, sebagai Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan Tahun 2017-2022, karena berdasarkan Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Nomor 317-PKE DKPP/X/2019 tanggal 18 Maret 2020, yang bersangkutan telah terbukti melakukan pelanggaran kode etik.
Akhirnya, Evi Novida Ginting diberhentikan secara tidak hormat dari jabatan sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI periode 2017-2020.
Hal itu tertuang di Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34/P Tahun 2020 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Masa Jabatan Tahun 2017-2020.
Keputusan Presiden itu ditetapkan di Jakarta pada 23 Maret 2020. Keputusan Presiden itu ditandatangani Presiden Joko Widodo.
Lalu, Evi mengajukan upaya adminstratif keberatan kepada Presiden Republik Indonesia terhadap Keputusan Presiden Nomor 34/P Tahun 2020 pada tanggal 26 Maret 2020 dan mengajukan gugatan pembatalan pemecatan dirinya sebagai KPU RI periode 2017-2022 ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.(tribun network/dit/gle/wly)
Subscribe by Email
Follow Updates Articles from This Blog via Email
No Comments