Mantan Staf Protokoler Kemenpora Arief Susanto mengakui pernah ada penyerahan uang Rp 3 miliar kepada Miftahul Ulum, asisten pribadi eks Menpora Imam Nahrawi.
Hal itu terkuak dalam sidang lanjutan kasus suap dana hibah KONI ke Kemenpora dengan terdakwa Imam Nahrawi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (18/3/2020).
Dalam kesaksiannya, Arief mengaku masuk ke dalam ruangan Bendahara KONI Johny E Awuy untuk mengambil uang tersebut.
"Pak Johny berapa jumlahnya?" kata Arief kala berbincang dengan Johny di ruangannya saat itu.
"Ini mas ada uang untuk mas Ulum" ucap Arief meniru ucapan Johny.
"Berapa?" tanya Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi kepada Arief.
"Pada akhirnya saya tahu itu Rp 3 miliar," jawab Arief.
"Pecahan berapa?" tanya JPU KPK lagi.
"Rp 100.000," jawab Arief.
Kata Arief, uang Rp 3 miliar itu lalu dimasukkan ke dalam koper.
Setelahnya, Arief menunggu perintah lebih lanjut dari Ulum.
"Lalu saya tunggu dulu, lalu sama pak Ulum kami bawa ke daerah Pancoran, untuk di pindahkan ke mobil pak Ulum," ucap Arief.
"Rumah atau di mana?" tanya JPU KPK.
"Cuma pinggir jalan saja, soalnya saya langsung masukkin ke mobil," jawab Arief.
"Ketemu Ulum?" lanjut JPU KPK.
"Iya, saya langsung mindahin koper ke Ulum," tutur Arief.
"Kan udah dipindahin, dia (Ulum) enggak ngomong aspri bawa duit Rp 3 M, ini untuk apa?" tanya JPU KPK.
"Waktu itu pak Ulum enggak bilang, cuma bilang 'terima kasih ya', setelah itu saya berpisah," jawab Arief.
"Hubungannya dengan saudara mau disuruh ambil uang?" JPU KPK mengonfirmasi.
"Karena beliau (Ulum) aspri pak menteri (Imam Nahrawi)," jawab Arief.
Imam Nahrawi didakwa menerima suap Rp11,5 miliar dan gratifikasi Rp8,6 miliar selama menjabat menpora.
Suap yang diterima Imam terkait pencairan dana hibah Kemenpora ke KONI.
JPU KPK membacakan kontruksi suap yang diterima Imam dalam dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Jumat (14/2/2020).
Setidaknya ada dua suap yang diduga diterima Imam dalam perkara ini.
Pertama, terkait proposal bantuan dana hibah Kemenpora dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program peningkatan prestasi olahraga nasional pada Asian Games dan Asian Para Games 2018.
Kedua, terkait proposal dukungan KONI Pusat dalam rangka pengawasan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatihan atlet berprestasi tahun 2018.
Suap terkait Proposal KONI untuk Asian Games dan Asian Para Games 2018
Kasus suap ini bermula pada 17 Januari 2018.
Ketua Umum KONI Pusat saat itu, Toto Suratman, mengajukan proposal mengenai Asian Games dan Asian Para Games 2018.
Dana yang diusulkan sebesar Rp51,5 miliar.
Untuk mempercepat proses pencairan, Ending Fuad Hamidy selaku Sekjen KONI menemui asisten pribadi Imam, Miftahul Ulum.
Dari pertemuan itu, disepakati adanya fee 15 hingga 19 persen dari total dana di proposal untuk diberikan kepada beberapa orang di Kemenpora termasuk Imam.
Nama-nama yang akan menerima fee itu dicatat Ulum di sebuah tisu yang kemudian diberikan kepada Hamidy.
Sebagian realisasi diberikan Januari 2018 di ruang kerja Hamidy. Ulum menerima Rp500 juta yang kemudian ditujukan kepada Imam.
Pada Maret 2018, Ulum kembali menerima Rp2 miliar dari Hamidy.
Uang itu diberikan dalam ransel warna hitam.
Pada Mei 2018, tim verifikasi menyetujui adanya pencairan proposal.
Namun, hanya Rp30 miliar yang disetujui dari permintaan Rp51,5 miliar. Proposal tersebut disetujui pada Juni 2018.
Realisasi pertama pencairan diberikan sebesar Rp21 miliar. Atas pencarian itu, Hamidy meminta Johnny E Awuy selaku Bendahara Umum KONI agar mencairkan dana itu sebesar Rp10 miliar.
Dari Rp10 miliar, sebesar Rp9 miliar diberikan kepada Imam melalui Ulum dan orang suruhan Ulum, Arief Susanto, secara bertahap yakni: Rp3 miliar diberikan di ruang kerja Johnny, Rp3 miliar dalam mata uang asing diberikan di lapangan golf Senayan, dan Rp3 miliar diberikan di lapangan bulutangkis Kemenpora.
Selain itu, Hamidy dan Johnny juga menyuap Deputi IV Kemenpora Mulyana berupa uang Rp300 juta dan satu mobil Fortuner.
Atas pemberian tersebut, Kemenpora kemudian mencairkan dana hibah tahap kedua sebesar Rp9 miliar.
Suap terkait Proposal KONI untuk Seleksi Calon Atlet dan Pelatihan Atlet Berprestasi Tahun 2018
Penerimaan kedua Imam yakni terkait proposal dukungan KONI Pusat dalam rangka pengawasan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatihan atlet berprestasi tahun 2018.
Bermula pada 30 Agustus 2018. Saat itu, Tono selaku Ketua KONI Pusat mengirimkan proposal sebesar Rp16,4 miliar ke Kemenpora. Proposal itu kemudian diverifikasi Mulyana. Dalam prosesnya, Ulum beberapa kali hubungi Mulyana agar proposal segera diproses.
Namun ternyata, Ulum berkordinasi dengan KONI untuk menaikkan angka penawaran proposal dari Rp16,4 miliar menjadi Rp27,5 miliar. Untuk menjamin proposal berjalan, Hamidy berkoordinasi dengan Staf Deputi IV Kemenpora Eko Triyatna.
Tetapi proposal tersebut tak kunjung disetujui dan sudah mendekati masa akhir tahun anggaran. Akhirnya Hamidy kembali memasukkan proposal lain dengan usulan Rp21 miliar.
Akhirnya Kemenpora menyetujui pencairan Rp17,9 miliar untuk KONI. Sesudah cair, Ulum kembali mendatangi Hamidy dengan daftar nama yang hendak menerima fee atas proposal itu.
Dalam daftar tertulis inisial dengan jumlah fee. Ada M (Menpora) dengan angka Rp1,5 miliar, Ulum Rp500 juta, Mulyana Rp400 juta, Adhi Purnomo Rp250 juta, dan Eko Rp20 juta. Namun suap tersebut tak terealisasi. Sebab Hamidy dan Johnny terlebih dahulu ditangkap KPK.
"Terdakwa (Imam) dan Miftahul Ulum, mengetahui dan patut diduga bahwa penerimaan hadiah berupa Rp11,5 miliar dari Ending Fuad Hamidy dan Johnny E Awuy untuk percepatan proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah KONI ke Kemenpora tahun 2018," kata jaksa.
Atas perbuatannya, Imam didakwa melanggar Pasal 12 a Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Subscribe by Email
Follow Updates Articles from This Blog via Email
No Comments