Oleh: Suhendra Hadikuntono
BILA kita pernah membaca novel scientific-thriller karangan Dean Koontz berjudul "The Eyes of Darkness" (TEOD) yang terbit tahun 1981, kita akan tercengang dan takjub.
Alur ceritanya seolah ada benang merah dengan peristiwa pandemik Coronavirus atau Covid-19 yang terjadi saat ini.
Bencana terjangan virus Corona yang bermula di Wuhan, Hubei, Tiongkok ini seolah bisa diramalkan akan terjadi sejak 40 tahun lalu.
Meskipun nama virus, objek sasaran dan sistem epidemiknya berbeda, namun Koontz bisa menggambarkan dengan jernih dan rinci serangan senjata biologis buatan Rusia dan diledakkan di Wuhan tersebut.
Koontz bukan penulis biasa.
Dia selalu melakukan riset dan berbasis referensi yang dipadukan dengan estimasi dan prediksi geopolitik global pasca-perang dingin.
Senada dengan TEOD adalah film fiksi ilmiah "Mission Imposible" yang dibintangi Tom Cruise, yang juga sering menampilkan serangan bioteknologi tingkat global yang dikemas dengan tindakan intelijen dan kontra-intelijen.
Dari dua contoh di atas saya memprediksi perang masa depan bukan lagi mengandalkan senjata berat artileri atau bom, melainkan lebih cenderung perang intelijen dengan berbagai cara, salah satunya menggunakan senjata biologis atau bioteknologi.
Perang intelijen dengan bioteknologi ini membutuhkan riset yang panjang, namun ada keunggulannya yaitu sulit terdeteksi dan bisa berdampak destruktif yang lebih masif dan sistemik.
Apa yang diprediksi Koontz dalam novel TEOD dan film "Mission Imposible" sangat mungkin terjadi saat ini dan di masa yang akan datang.
Sebab perkembangan teknologi saat ini sudah begitu pesat dan tak terkendali.
Tidak ada batasan lagi dalam menghancurkan pertahanan sebuah negara dengan menggunakan segala cara.
Jadi kalau saat ini ada orang yang mengaitkan pandemik Covid-19 dengan operasi intelijen bioteknologi juga tidak terlalu salah.
Apalagi kejadian pandemik Covid-19 ini berbarengan dengan memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok.
Bisa juga dikaitkan dengan momentum keluarnya Inggris dari Uni Eropa.
Semua analisis intelijen bisa saja dilakukan, asal bisa dibuktikan dengan data dan informasi akurat, bukan sekadar analisis yang memancing polemik dan kegaduhan.
Menyimak perkembangan mewabahnya Covid-19 yang terjadi saat ini, bagi saya masih jauh dari kemungkinan itu.
Tapi naluri, kalkulasi dan radar intelijen saya mencium ada kepentingan geopolitik global yang mendapat keuntungan dari melambatnya ekonomi Tiongkok dan negara-negara kawasan Asia.
Ibarat blessing in disguise, "berkah" dari bencana ini di sisi lain memperlihatkan solidaritas negara-negara di kawasan regional dan global semakin kuat dan solid.
Ke depan saya berharap institusi intelijen (Imigrasi, Bea Cukai dan sebagainya) mampu berkoordinasi dengan BIN selaku koordinator intelijen negara guna meningkatkan daya tangkal dan deteksi dini.
Kapasitas sumber daya manusia yang baik aparat intelijen maupun kontra-intelijen harus ditingkatkan secara signifikan.
Pengetahuan aparat intelijen tentang situasi politik dalam negeri semata sangat tidak cukup.
Harus ada "up-grade" kemampuan deteksi dan perkembangan geopolitik global.
Hal ini agar serangan asing dengan menggunakan bioteknologi dapat kita deteksi dan kita cegah-tangkal.
Intelijen negara harus proaktif melindungi kepentingan bangsa dan negara dari ancaman global.
Sepanjang pengamatan saya, Presiden Joko Widodo sudah "on the track" dalam penanganan Covid-19.
Penunjukan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPBl) Letjen TNI Doni Monardo, sahabat saya yang saya tahu persis kemampuannya di atas rata-rata, sebagai Komandan Gugus Tugas Reaksi Cepat Penanganan Covid-19 Indonesia oleh Presiden Jokowi semakin menambah keyakinan kita semua bahwa penanganan wabah virus yang mematikan ini dapat terjalan dengan sigap, baik dan tuntas.
Respons cepat Presiden Jokowi juga patut dipuji dengan langsung menelepon Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus Direktur Jenderal World Health Organization (WHO) sesaat setelah menerima surat dari Dirjen WHO itu.
Hal tersebut merupakan sikap sigap dan tanggung jawab serta bentuk kewaspadaan yang ditunjukkan oleh Presiden Jokowi.
Sikap tanggap Presiden Jokowi ini menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia sudah dalam garis yang benar atau on the track dalam penanganan Covid-19, dan Presiden Jokowi tidak menginginkan Indonesia digunakan sebagai fokus atau perhatian dunia terkait masalah Covid-19.
Pada saat pihak pemerintah sedang fokus menangani Covid-19, lembaga intelijen negara harus sigap menangkal semua kepentingan yang akan memperkeruh suasana atau mengail di air keruh.
Secara logika seharusnya aparat intelijen negara mempunyai kemampuan untuk mengamankan politik negara.
Kegagalan pihak intelijen dalam mengantisipasi berbagai peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu tidak boleh terulang kembali.
* Suhendra Hadikuntono: Pengamat Intelijen Senior, Tinggal di Jakarta.
Subscribe by Email
Follow Updates Articles from This Blog via Email
No Comments