TRIBUNNEWSWIKI.COM - Veronica Koman serahkan dokumen data 57 tahanan politik dan 243 korban sipil tewas Papua ke Jokowi, sebut awal periodenya sempat beri 'angin segar'.
Pengacara hak asasi manusia (HAM) Veronica Koman dan sekelompok aktivis menyerahkan dokumen dampak operasi militer di Papua kepada Presiden Joko Widodo.
Data tersebut berisi 57 tahanan politik serta 243 korban sipil yang tewas di Nduga, Papua, sejak Desember 2018.
Dokumen itu diserahkan langsung saat Jokowi berkunjung ke Canberra, Australia, Senin (10/2/2020).
"Tim kami di Canberra telah berhasil menyerahkan dokumen-dokumen ini langsung kepada Presiden Jokowi.
Dokumen ini memuat nama dan lokasi 57 tahanan politik Papua yang dikenakan pasal makar, yang saat ini sedang ditahan di tujuh kota di Indonesia," ungkap Veronica melalui keterangan tertulis, Selasa (11/2/2020), dikutip dari Kompas.com.
"Kami juga menyerahkan nama beserta umur dari 243 korban sipil yang telah meninggal selama operasi militer di Nduga sejak Desember 2018, baik karena terbunuh oleh aparat keamanan maupun karena sakit dan kelaparan dalam pengungsian,” sambung dia.
Menurut keterangan Veronica, Jokowi telah membebaskan lima tahanan politik Papua selama periode pertama pemerintahannya, pada tahun 2015.
Hanya saja, pada periode keduanya, terdapat 57 tahanan politik yang sedang menunggu sidang.
"Di awal periode pertamanya pada 2015, Presiden Jokowi membebaskan lima tahanan politik Papua.
Masyarakat memandang ini sebagai langkah yang penuh dengan harapan baru bagi Papua," ujarnya.
"Namun, pada awal dari periode keduanya saat ini, terdapat 57 orang yang dikenakan makar yang sedang menunggu sidang.
Langkah ini hanya akan memperburuk konflik di Papua," lanjut Veronica.
Veronica pun mempertanyakan langkah Jokowi terhadap permintaan penarikan pasukan dari Nduga.
"Sekarang Presiden Jokowi sendiri yang sudah langsung pegang datanya, termasuk nama-nama dari 110 anak-anak dari total 243 sipil yang meninggal, akankah Presiden tetap tidak mengindahkan permintaan tersebut?" tuturnya.
Disambut ratusan pendukung yang meneriakkan yel 'Papua Merdeka!', tahanan politik Papua paling terkenal, Filep Karma, bebas, Kamis (19/11/2015), setelah menjalani 11 tahun penjara dari 15 tahun vonis yang dijatuhkan.
Dalam wawancara pertamanya kepada BBC Indonesia sejak dibebaskan, dia mengatakan sangat kaget saat diberi tahu bahwa ia akan dibebaskan dua tahun lebih awal.
"Saya tahunya akan dibebaskan tahun 2019.
Karena saya menolak semua remisi," kata Filep Karma.
"Tiba-tiba saya dipaksa harus keluar dari penjara.
Persiapannya waktu saya mau masuk penjara dulu, saya menganggap bukan dipenjara tapi pindah rumah.
Jadi ini seperti sudah nyaman di rumah, tiba-tiba diusir keluar dari rumah saya.
Jadi saya betul-betul shock dan bingung," tambahnya, dikutip dari Kompas.com.
Filep Karma memimpin ratusan mahasiswa Papua meneriakan yel "merdeka" dalam sebuah unjuk rasa di Jayapura tahun 2004. Mereka kemudian mengibarkan bendera Bintang Kejora, bendera gerakan Papua Merdeka, dalam pengawasan penuh polisi dan militer.
Ia pun ditangkap dan disidangkan dituding memberontak.
Karma kukuh menegaskan, ia sekadar menjalankan haknya untuk melakukan protes.
"Mereka meneror kami di negara yang disebut demokratis, di negara yang harusnya menjamin kemerdekaan berbicara."
Filep Karma menegaskan tekadnya untuk terus memperjuangkan kemerdekaan Papua secara damai.
“Papua belum merdeka, berarti perjuangan saya belum selesai.
Saya akan terus berjuang sampai Papua merdeka."
Dan untuk itu, katanya, ia siap untuk kembali dipenjara.
"Saya bebas dari penjara sekarang ini, sebetulnya saya masih dalam penjara, yaitu penjara besar Indonesia.
Artinya saya masih terkurung dalam negara Indonesia dengan aturan-aturannya yang diskriminatif dan rasialis."
Dalam wawancara dengan BBC dari selnya tahun 2010, Filep Karma mengaku kerap disiksa di penjara.
"Saya dipukuli, ditendangi, digusur.
Tetapi yang paling menyakiti saya adalah siksaan mental yang saya alami.
"Seorang petugas mengatakan pada saya, ketika kamu masuk sini, kamu kehilangan semua hak kamu, termasuk hak asasi manusia. Hak kamu cuma bernafas dan makan.
Dia bahkan bilang, hidup kamu ada di tangan saya."
Terkait pembebasannya, Filep Karma mengucapkan terima kasihnya kepada para pendukungnya di Indonesia dan di seluruh dunia.
Ia mengatakan telah menerima ratusan surat dukungan, termasuk gambar yang dilukis anak sekolah di Eropa.
"Mereka memberi saya harapan, dan membuat saya merasa saya tidak sendirian," ungkapnya.
Andreas Harsono dari Human Rights Watch menyambut baik pembebasan Filep Karma, namun menyebutnya sebagai langkah terlambat pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Dia mengatakan, seharusnya sejak awal Filep Karma tak boleh dipenjarakan.
Puluhan tahanan politik lain, lanjut dia, masih berada di balik penjara di Papua dan Maluku, dan menyerukan pebebasan mereka.
Subscribe by Email
Follow Updates Articles from This Blog via Email
No Comments